Minggu, 05 Mei 2013

refensiku



CACAT MENTAL


NAMA KELOMPOK
1.     Desi Sugianti                           (1108500869)
2.     Yuniar Tri Kardiana. R           (1111500066)
3.     Ernis Martinda                        (1111500097)
4.     M. Iqbal Mustofa                    (1111500036)
5.     Nur Laeli                                 (1111500130)
6.     Sri Indah Ratnasari                  (1111500148)
7.     Dwi Fefriani                                      (1111500181)
8.     Sri Handayani                         (1111500223)
9.     Zaldi Muzani                           (1111500233)

SEMESTER         III F


BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami dalam keadaan sehat walafiat sehingga telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Cacat Mental. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Dalam penulisan makalah ini juga karena adanya dukungan dari berbagai pihak yang telah memberikan kelancaran dan motivasi serta batuanya kepada kami. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT, memberikan pahala yang sesuai dengan amal dan keikhlasannya dalam membantu penulis selama proses pembuatan makalah ini. Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca serta masyarakat pada umumnya.





                                                                                                            Tegal, 7 Desember 2012

       Penyusun 


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Lembaga pendidikan yang ada sekarang ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama itu anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis keterbatasannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok pemisah bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok pemisah tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan anak-anak yang normal. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok orang yang cacat menjadi komunitas yang terkucilkan dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok tersebut. Sementara kelompok orang berkebutuhan khusus sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Di negara berkembang, orang-orang cacat cenderung tiga kali lebih buruk dalam penolakan layanan kesehatan dibanding mereka yang tinggal di negara maju. Anak-anak cacat cenderung tidak menempuh pendidikan dibanding anak-anak lain. Sementara di sektor lapangan pekerjaan, prosentasi karyawan cacat hanya 44 persen, dibanding 75 persen di negara maju.

Halangan yang dihadapi kaum cacat merentang mulai dari stigma, diskriminasi, tak ada perawatan kesehatan layak dan layanan rehabilitasi, sulit mengakses transportasi, bangunan dan informasi publik. Dalam negara berkembang gambaran itu bahkan lebih buruk lagi.
Salah satu penulis laporan "World Report on Disability", Tom Shakespeare, berkata, "Pesan dari laporan itu adalah bahwa tidak ada negara yang betul-betul memperlakukan kaum cacat dengan benar. Italia adala pemimpin dalam hal pendidikan egaliter dan inklusif sekaligus dan tak mengucilkan orang-orang dengan masalah kesehatan mental, namun di area lain tidak.

B.       Rumusan Masalah
1.        Apakah yang dimaksud dengan cacat mental?
2.        Apa sajakah kategori anak yang dapat di katakan mengalami cacat mental?
3.        Bagaimana  pemberian layanan pada anak cacat mental di Indonesia?
4.        Bagaimana perbandingan antara pemberian layanan anak cacat mental di Indonesia dengan pemberian layanan anak cacat mental di luar negeri?
C.      Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari cacat mental
2.      Mengetahui indikasi anak yang mengalami cacat mental
3.      Mengetahui  pemberian layanan pada anak cacat mental di Indonesia
4.      Mengetahui perbandingan antara pemberian layanan anak cacat mental di Indonesia dengan pemberian layanan anak cacat mental di luar negeri

D.      Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah Mahasiswa dapat mengetahui apa itu cacat mental dengan karakteristiknya serta klasifikasi dari cacat mental tersebut. Selain itu mahasiswa dapat mengetahui perbedaan layanan yang diberikan bagi anak cacat mental antara negara Indonesia dengan Luar Negeri sehingga diharapkan mahasiswa sebagai calon pendidik lebih menghargai keberadaan anak berkebutuhan khusus yang ada di sekitar kita serta dapat belajar dari pemerintah luar negri yang lebih baik dalam memfasilitasi anak berkebutuhan khusus di negaranya.









BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Cacat Mental
Cacat mental adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Anak-anak yang menderita cacat mental mengalami keterlambatan permanen dan menyeluruh di dalam banyak aspek perkembangan mereka sebab intelegensi mereka rusak. Seberapa tinggi intelegensi mereka biasanya dinyatakan di dalam bentuk Intelligence Quotient (IQ). IQ normal berkisar antara 80 sampai 120. Anak-anak cacat mental memiliki IQ dibawah 70. Sekitar 2.5 persen anak-anak mengalami semacam cacat mental. Mereka yang IQ-nya antara 50 dan 70 dikatakan menderita cacat mental ringan, sedangkan yang di bawah 50 dikatakan menderita cacat mental parah. Adakalanya kemampuan menggerakkan badan dan anggota badannya normal, tetapi koordinasi, kemampuan berbahasa dan sosialnya terhambat. Inteligensi diukur dengan memberikan tes-tes yang menghasilkan IQ.
Di samping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit, dan yang berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti mengarang, menyimpulkan isi bacaaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang/terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Anak cacat mental banyak macamnya, ada yang disertai dengan buta warna, disertai dengan kerdil badan, disertai dengan berkepala panjang, disertai dengan bau badan tertentu dan sebagainya; tetapi ada pula yang tidak disertai apa-apa. Mereka semua mempunyai persamaan yaitu kurang cerdas dan terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan jika dibandingkan dengan teman sebayanya. Mereka mempunyai ciri-ciri khas dan tingkat cacat mental yang berbeda-beda, ada yang ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Terdapat perbedaan antara cacat mental dengan sakit mental, sakit jiwa, atau sakit ingatan.
Dalam bahasa Inggris sakit mental disebut mental illness yaitu merupakan kegagalan dalam membina kepribadian dan tingkah laku. Sedangkan cacat mental dalam bahasa Inggris disebut mentally retarded atau mental retardation merupakan ketidakmampuan memecahkan persoalan disebabkan karena kecerdasan (inteligensinya) kurang berkembang serta kemampuan adaptasi perilakunya terhambat. Hal ini yang membedakan cacat mental dengan sakit jiwa ialah: Cacat mental bermula dan berkembang pada masa perkembangan, yaitu sejak anak lahir sampai kira-kira usia 18 tahun. Sedangkan sakit jiwa dapat menyerang setiap saat, kapan saja. Namun sekalipun sakit jiwa dan cacat mental berbeda, tidak mustahil anak cacat mental menderita sakit jiwa.
Dari berbagai definisi, ungkapan pengertian dan penjelasan yang telah diuraikan di atas maka jelaslah bahwa untuk menentukan seseorang termasuk kategori cacat mental, selain kemampuan kecerdasannya atau tingkat inteligensinya jelas-jelas berada di bawah normal perlu pula diperhatikan kemampuaan penyesuaiannya (adaptasi tingkah laku) terhadap lingkungan sosial dimana ia berada. Selanjutnya perlu diperhatikan tentang waktu terjadinya cacat mental itu. Bila cacat mental terjadi setelah masa perkembangan (setelah usia 18 tahun) maka ia tidak tergolong cacat mental.
Ø  Penyebab Anak Cacat Mental
1.      Peristiwa kelahiran
Di negara sedang berkembang, penyebab cacat mental yang utama adalah kerusakan pada otak saat kelahiran. Kehamilan yang tidak di control, bimbingan persalinan yang tidak tepat, bantuan persalinan salah, fasilitas persalinan yang kurang memadai banyak mengakibatkan kerusakan pada otak anak.
2.      Infeksi
Anak menderita infeksi yang merusak otak seperti meningitis, encephalitistu berkulosis, dan lain-lain. Sekitar 30%-50% dari mereka yang mengalami kerusakan otak akibat penyakit-penyakit tersebut menderita deficit neorologikdan cacat mental
3.      Malnutrisi berat
Kekurangan makanan bergizi semasa bayi dapat mengganggu partumbuhan dan fungsi susunan syaraf pusat. Malnutrisi ini kebanyakan terjadi pada kelompok ekonomi lemah.
4. Kekurangan yodium
Kekurangan yodium dapat mempengaruhi perkembangan mental anak, termasuk salah satu penyebab cacat mental. Untuk mengenal anak cacat mental secara dini, beberapa gejala ini dapat dijadikan indicator.
5. Terlambat memberi reaksi
Gejala-gejala ini dapat diamati pada saat minggu-minggu pertama kehidupan anak. Antara lain; lambat memberi senyum jika anak diajak tertawa atau digelitik. Anak tidak memperhatikan atau seolah-olah tidak melihat jika dirangsang dengan gerakan tangan kita. Bagi anak yang sehat, bola matanya akan mengikuti gerakan tangan kita. Bagi anak yang sehat, bola matanya akan mengikuti gerakan tangan tersebut kekiri atau kekanan. Begitu juga terhadap bunyi-bunyian, anak yang sehat akan tersentak, terkejut, membesarkan bola mata, dan berusaha mencari suara tersebut. Sebaliknya anak cacat mental akan terlambat bereaksi terhadap bunyi-bunyian, seolah-olah tergantung pendengarannya. Anak cacat mental juga lambat mengunyah makanan, sehingga ia seringkali mengalami gangguan.
6. Memandang tangannya sediri
Bayi yang berusia antara 12-20 minggu bila berbaring sering memperhatikan gerakan tangannya sendiri. Pada anak cacat mental gejala ini masih terlihat walaupun usianya sudah lebih tua dari 20 minggu.
7. Memasukkan benda ke mulut
Kegiatan memasukkan benda ke dalam mulut merupakan aktifitas yang khas untuk anak usia 6- 12 bulan. Anak cacat mental masih suka memasukkan benda atau mainan ke dalam mulutnya walaupun usianya sudah mencapai 2 atau 3 tahun.
8. Kurang perhatian dan kurang konsentrasi
Anak cacat mental kurang memperhatikan lingkungan sekitar. Perhatiannya terhadap mainan hanya berlangsung singkat saja. Malahan seringkali tidak mengacuhkan kejadian-kejadian di sekelilingnya. Bila diberi mainan, ia kurang tertarik dan tidak berusaha untuk mengambilnya.
B.       Indikasi Anak Cacat Mental
Ø  Klasifikasi Anak Cacat Mental
Pengelompokan pada umumnya berdasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri dari terbelakang ringan, dan berat. Pengelompokan seperti ini sebenarnya bersifat artificial karena ketiga kelompok di atas tidak dibatasi oleh garis demargasi yang tajam. Gradasi dari satu level ke level berikutnya bersifat kontinyu.
Kemampuan inteligensi anak cacat mental kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC).
1.      Cacat Mental Ringan
Cacat mental ringan disebut juga debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Namun pada umumnya anak cacat mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian social secara independen dan anak ini tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak cacat mental dengan anak normal.


2.      Cacat Mental Sedang
Anak cacat mental sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 berdasarkan skala Binet sedangkan menurut Skala Wsechler memiliki IQ 54- 40. Anak cacat mental sedang masih memperoleh kecakapan komunikasi selama masa anak usia dini. Walaupun agak lambat. Anak dapat mengurus atau merawat diri sendiri dengan pelatihan yang intensif. Mereka dapat memperoleh manfaat latihan kecakapan social dan pekerjaan namun tidak dapat menguasai kemampuan akademik seperti; membaca, menulis, dan berhitung. Akan tetapi mereka masih dapat bepergian di lingkungan yang sudah dikenalnya.
3.      Cacat Mental Berat
Kelompok anak cacat mental berat disebut juga idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak cacat mental berat dan sangat berat. Cacat mental berat (severe) memiliki IQ antara 32-20menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut Skala Wechsler (WISC) Anak cacat mental sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut skala Wechsler (WISC). Anak cacat mental berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dll. Hampir semua anak cacat mental berat dan sangat berat menyandang cacat ganda. Umpamanya sebagai tambahan cacat mental tersebut si anak lumpuh (karena cacat otak) , tuli atau cacat lainnya.
Ø  Karakteristik Anak Cacat Mental
1.      Karakteristik Anak Cacat Mental Ringan
Anak cacat mental ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang pembendaharaan kata-katanya. Mereka mengalami kesukaran berfikir abstrak, tetapi mereka masih dapat mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah biasa maupun di sekolah khusus. Sebagaimana tertulis dalam The New American Webster (1956:301) bahwa: “Moron (debile) is a person whose mentality does not develop beyond the 12 year old level”. Maksudnya, kecerdasan berfikir seseorang cacat mental ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun.
2.      Karakteristik Anak Cacat Mental Sedang
Anak cacat mental sedang hamper tidak bias mempelajari pelajaran-pelajaran akademik. Mereka pada umumnya belajar secara membeo. Perkembangan bahasanya lebih terbatas daripada anak cacat mental ringan. Mereka hamper selalu bergantung pada perlindungan orang lain, tetapi dapat membedakan bahaya dan yang bukan bahaya. Mereka masih mempunyai potensi untuk belajar memelihara diri dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dapat mempelajari beberapa pekerjaan yang mempunyai arti ekonomi. Pada umur dewasa mereka baru mencapai kecerdasan yang sama dengan anak umur 7 atau 8 tahun.

3.      Karakteristik Anak Cacat Mental Berat
             Anak cacat mental berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan slalu tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri. Pada umumnya mereka tidak dapat membedakan mana yang berbahaya dan yang tidak berbahaya, tidak mungkin berpartisifasi dengan lingkungan di sekitarnya, dan jika sedang berbicara maka kat-kata ucapannya sangat sederhana. Kecerdasan seorang anak cacat mental berat dan sangat berat hanya dapat berkembang paling tinggi seperti anak normal yang berumur 3 atau 4 tahun.
Sunaryo Kartadinata (1998/1999) mengatakan karakteristik anak cacat mental antara lain (1) Keterbatasan inteligensi, (2) Keterbatasan social dengan ciri-ciri ; cenderung berteman dengan anak yang lebih muda, ketergantungan terhadap orang tua, tidak mampu memikul tanggung jawab. (3) Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya seperti; kurang mampu mempertimbangkan sesuatu, kurang mampu membedakan yang baik dengan yang buruk, yang benar dan yang salah, tidak membayangkan terlebih dahulu konsekuensi suatu perbuatan.
Guru TK mengenali anak keterbelakangan mental melalui berbagai aktifitas selama kegiatan, bermain, bercerita, makan, di kelas maupun di halaman sekolah atau bagaimana cara ia berinteraksi dengan anak lain, guru, atau orang di sekitarnya. Begitu juga interaksinya dengan lingkungan alam, alat permainannya, dan rangsangan lain yang ada di sekitarnya.

2. Pemberian Layanan Bagi Anak Cacat Mental di Indonesia
Beberapa sekolah telah dibuka bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus di Indonesia. System pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan siswa menjadi salah satu keunggulan yang ditawarkan sekolah – sekolah tersebut. Sekolah ini membekali anak untuk bisa hidup mandiri dalam hidupnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Ø  Pasal – Pasal Yang Melandasi Pendidikan Luar Biasa di Indonesia
Seluruh warga negara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dijamin oeh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang mengumumkan. Bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan undang- undang no 20 tentang system pendidikan nasional ( UUSPN ). Dalam undang – undang tersebut dikemukakan hal- hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut ;
Bab 1 ( pasal 1 ayat 18 ) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus di ikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah
Bab II ( pasal 4 ayat 1 ) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis berdasarkan HAM,agama,kultural, dan kemajemukan bangsa.
Bab IV ( pasal 5 ayat 1 ) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,emosionl,mental,intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (pasal 32 ayat 1 ) Pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,emosional,mental,sosial atau memiliki potensi kecerdasan.
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Ø  Gagagasan Pendidikan Inklusi di Indonesia
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.
Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya.
Ø  Implementasi Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya cacat mental, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau masuk SLB lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat.
Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak cacat mental tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak cacat mental di tengah-tengah teman yang sedang belajar.
Ø  Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan. Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1.      Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi isi/materi
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat kesulitannya diturunkan sedikit.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal (anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan dihilangkan bagian tertentu. 
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
* Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan individual setiap anak.
* Lebih terbuka (divergent);
* Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
* Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik,“aku-lah sang juara”!.
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.
Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan berkembang dengan baik.
Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang harmonis.
Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan.
Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
Ø  Sekolah Swasta
Sekolah swasta yang menangani anak berkebutuhan khusus salah satunya adalah Yayasan Sjaki-Tari-Us yang bertujuan menolong dan membimbing anak-anak cacat mental sehingga mereka dapat berkembang dan berperan serta dalam masyarakat, dengan moto: Bukan tidak berbakat, tapi berbakat istimewa!
Mereka  melakukan hal ini dengan mengirim bantuan dan tenaga ahli dari Belanda untuk orang tua, pembimbing, guru-guru dan pihak lain yang berminat di Bali. Dengan demikian mereka akan dapat menerapkan dan mengalihkan ilmu mereka pada saatnya di Bali. Dan kualitas pendidikan dan bimbingan untuk anak-anak cacat mental dapat lebih berkembang.

Yayasan Sjaki-Tari-Us menangani beberapa proyek antara lain:
  • Kelompok bermain dan belajar untuk anak-anak (cacat mental) dan orang tua murid di Ubud
  • Kelompok bermain dan belajar untuk anak-anak (cacat mental) dan orang tua murid yang bersatu dengan sekolah dasar di Selat, Bali Utara
  • Program “Teach the Teacher”untuk guru-guru di Sekolah Luar Biasa (SLB)
  • Layanan antar jemput untuk anak-anak yang melanjutkan sekolah mereka ke Sekolah Luar Biasa, namun tidak memiliki fasilitas transportasi, di Singaraja, Selat dan Ubud.
  • Pencanangan Pusat aktivitas harian untuk remaja (cacat mental) di Ubud.
4.         Pemberian Layanan Bagi Anak Cacat Mental Di Luar Negeri
Di negara berkembang, orang-orang cacat cenderung tiga kali lebih buruk dalam penolakan layanan kesehatan dibanding mereka yang tinggal di negara maju. Anak-anak cacat cenderung tidak menempuh pendidikan dibanding anak-anak lain. Sementara di sektor lapangan pekerjaan, prosentasi karyawan cacat hanya 44 persen, dibanding 75 persen di negara maju.

Halangan yang dihadapi kaum cacat merentang mulai dari stigma, diskriminasi, tak ada perawatan kesehatan layak dan layanan rehabilitasi, sulit mengakses transportasi, bangunan dan informasi publik. Dalam negara berkembang gambaran itu bahkan lebih buruk lagi.

Salah satu penulis laporan "World Report on Disability", Tom Shakespeare, berkata, "Pesan dari laporan itu adalah bahwa tidak ada negara yang betul-betul memperlakukan kaum cacat dengan benar. Italia adala pemimpin dalam hal pendidikan egaliter dan inklusif sekaligus dan tak mengucilkan orang-orang dengan masalah kesehatan mental, namun di area lain tidak.

Namun laporan WHO, meski tidak membandingkan langsung dengan negara-negara lain, menyoroti satu praktek terbaik yang layak dijadikan contoh, yakni UU Diskriminasi Kaum Cacat 2005. UU itu mewajibkan lembaga-lembaga publik untuk mempromosikan kesetaraan dan kebijakan penggajian langsung untuk orang-orang cacat.
Ø  Layanan Bagi Anak Cacat Mental Di Negara Korea
Sampai tahun 2007, terdapat 144 kelas khusus untuk orang dengan cacat fisik dan 
mental di Korea. Angka ini mencakup tujuh sekolah untuk siswa-siswa dengan 
gangguan emosi, 12 sekolah untuk siswa dengan gangguan  penglihatan, 18 sekolah 
untuk siswa dengan gangguan pendengaran, 18 sekolah untuk siswa dengan cacat fisik, 
dan 89 sekolah untuk siswa yang mengalami keterbelakangan mental.

Dengan kesadaran yang semakin meningkat mengenai kebutuhan orang-orang dengan cacat fisik dan mental, semakin banyak upaya dilakukan untuk memasukkan mereka ke sekolah-sekolah umum. Semakin banyak sekolah  umum yang mempekerjakan staf pendukung dengan latar belakang pendidikan khusus serta membangun fasilitas-fasilitas bagi siswa-siswa dengan cacat fisik dan mental. Untuk menolong para pelajar yang memiliki permasalahan kronis, pemerintah juga sedang mempromosikan dibangunnya rumah sakit sekolah.

Untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan khusus, pemerintah mendirikan 
Institut Pendidikan Khusus Korea pada  tahun 1994, yang bertanggungjawab untuk 
mengadakan penelitian dalam bidang pendidikan khusus serta meningkatkan kesadaran
masyarakat akan kebutuhan orang-orang yang memiliki cacat fisik dan mental. Serta Orang-orang dengan cacat fisik dan mental di Korea memperoleh pelatihan kejuruan.
Ø  Cacat Mental di Negara Belanda
Han Brunner, ahli genetik klinis, mengadakan penelitian bersama Joris Veltman mengenai penyebab cacat mental pada anak-anak yang terlihat 'normal' ini.
Brunner mengaku sekarang punya alat yang bisa membaca semua gen dalam tubuh sekaligus. Dengan demikian ia bisa membandingkan gen kedua orangtua dengan anak. Ia juga telah melakukan penelitian ini kepada sepuluh anak dan orangtua mereka. ''Pada enam anak, kami menemukan kelainan pada sebuah gen, kelainan yang tidak ditemukan pada kedua orangtua. Dan kelainan pada satu gen tersebutlah yang mungkin jadi penyebab cacat mental.
Brunner dan Veltman menggunakan teknik baru: Next Generation Sequencing. Teknik ini memungkinkan semua 20.000 gen – genoom – pada tubuh seseorang diamati, dan dalam hal ini juga dibandingkan dengan gen orangtua. Menurut peneliti, kelainan pada sebuah gen terjadi secara spontan.
“Perubahan DNA adalah hal lumrah: jika dibandingkan DNA kita akan sedikit berbeda dari DNA orangtua. Sekarang kita bisa memberi tahu orang tua anak-anak cacat mental bahwa kelainan gen mungkin timbul pada pembuatan sel sperma atau sel telur. Pada kehamilan kedua risiko kelainan akan jauh berkurang,” Demikian dinyatakan Joris Veltman. Jumlah anak-anak yang dilahirkan cacat mental di Belanda kurang lebih 2 banding 100.
Penelitian di Nijmegen ini bisa membuat orangtua mengerti lebih banyak mengenai anak-anak cacat mental. Seringkali orang tua lega jika mengetahui penyebab kecacatan anak mereka. Kejelasan apakah cacat mental merupakan penyakit turunan juga penting bagi orangtua yang masih ingin memiliki anak lagi.
“Penelitian ini sama sekali tidak mengubah Sven,” kata ayah Sven, yang jadi salah satu kelinci percobaan penelitian ini. Istrinya menambahkan, “Namun saya tenang karena telah mengetahui apa yang sebenarnya kami hadapi. Sekarang, kami bisa mendefinisikannya.”
Saat ini penelitian Next Generation Sequencing masih terlalu mahal untuk digunakan secara umum. Peneliti berharap, harga alat penelitian ini lambat laun menurun, namun bukan berarti dalam beberapa tahun ke depan penelitian ini akan bisa dilakukan di seluruh dunia. Lagipula alat saja tak akan cukup. Yang juga dibutuhkan adalah tenaga ahli yang bisa memproses data penelitian
Ø  Cacat Mental di Negara Amerika Serikat
Di Amerika penyandang cacat fisik dan mental statusnya di mata hukum sama dengan mereka yang tidak cacat. Kekurangan yang ada pada mereka tidak dijadikan alasan untuk menempatkan mereka sebagai warga negara kelas dua. Selama mereka mampu dan memenuhi syarat, di bidang pekerjaan mereka mempunyai hak yang sama dengan mereka yang tidak cacat.  Dalam bidang sekolah juga demikian. 
Amerika mempunyai Americans_with_Disabilities_Act_of_1990 (ADDA 1990), diamendemen di tahun 2008 menjadi ADA_Amendments_Act_of_2008 ( ADAAA 2008).  Undang-undang ini adalah landasan hukum bagi penyandang cacat untuk tidak didiskriminasi karena kekurangan mereka. ADDA bisa disebut sebagai perluasan dari Civil_Rights_Act_of_1964 yang menjamin kesetaraan semua warganegara, tidak boleh didiskriminasi karena alasan apapun juga.
Di kehidupan sehari-hari, penyandang cacat bukan hanya diakui kesetaraan mereka tetapi juga diberikan fasilitas yang membuat mereka dapat menjalankan aktivitas keseharian sama seperti mereka yang tidak cacat. Mereka diberi kemudahan akses. Di tempat parkir, tersedia tempat parkir khusus untuk penyandang cacat dan warga negara senior (yang dianggap mempunyai keterbatasan dalam bergerak). Tempat parkir khusus ini bagian dari tempat parkir secara keseluruhan tetapi lokasinya paling dekat dengan pintu masuk. Untuk bisa parkir di spot khusus ini setiap mobil yang parkir harus menunjukkan kartu disabled yang digantung di atas dashboard mobil.  Bisa juga dengan memakai pelat kendaraan bergambar kursi roda, logo penyandang cacat.
Di bus kota kursi khusus bagi penyandang cacat terletak paling dekat ke pintu bus untuk memudahkan mereka. Di gedung-gedung dan fasilitas umum lainnya disediakan ramp atau koridor khusus untuk dilalui oleh kursi roda, bagi mereka yang tidak dapat menggunakan tangga. Sedangkan pintu-pintu di semua gedung milik pemerintah dan sebagian besar gedung milik swasta memakai pintu otomatis. Baik yang bisa membuka dan menutup sendiri (biasanya pintu geser) atau pintu yang bisa dibuka dengan menekan tombol khusus. Begitulah cara orang Amerika mencintai sesama mereka yang tidak beruntung. Hal yang perlu ditiru di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Cacat mental adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Anak-anak yang menderita cacat mental mengalami keterlambatan permanen dan menyeluruh di dalam banyak aspek perkembangan mereka sebab intelegensi mereka rusak. Keberadaan anak cacat mental di Indonesia sangat dilindungi termasuk dalam memperoleh pendidikan, karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).
Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Di negara berkembang, orang-orang cacat cenderung tiga kali lebih buruk dalam penolakan layanan kesehatan dibanding mereka yang tinggal di negara maju. Anak-anak cacat cenderung tidak menempuh pendidikan dibanding anak-anak lain. Sementara di sektor lapangan pekerjaan, prosentasi karyawan cacat hanya 44 persen, dibanding 75 persen di negara maju.
B.       Saran
1.      Bagi Mahasiswa
Sebagai kaum intelektual sebaiknya mahasiswa mampu tanggap dengan  kejadian ini, dimana meskipun anak cacat mental di Indonesia mendapatkan kedudukan yang sama di mata Undang-Undang dalam hal pendidikan tetapi sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi secara baik keberagaman tersebut.
2.      Bagi Masyarakat
Beberapa sekolah telah dibuka bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus ini. System pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan siswa menjadi salah satu keunggulan yang ditawarkan sekolah – sekolah ini. Jadi anda tidak perlu khawatir dengan masa depan anak anda karena sekolah ini membekali anak untuk bisa hidup mandiri dalam hidupnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya.


DAFTAR PUSTAKA

Somantri H. T. Sutjihati, 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Geoniofam, Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus,Garailmu, Jogjakarta2010
http://getmyhope.wordpress.com/2010/04/23/anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia/
http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/pendidikan-anak-luar-biasa/http://my.opera.com/gusdar99/blog/show.dml/4479602


11 komentar: