CACAT MENTAL
NAMA KELOMPOK
1. Desi Sugianti (1108500869)
2. Yuniar Tri Kardiana. R (1111500066)
3. Ernis Martinda (1111500097)
4. M. Iqbal Mustofa (1111500036)
5. Nur Laeli (1111500130)
6. Sri Indah Ratnasari (1111500148)
7. Dwi Fefriani (1111500181)
8. Sri Handayani (1111500223)
9. Zaldi Muzani (1111500233)
SEMESTER
III F
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami dalam
keadaan sehat walafiat sehingga telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Cacat Mental. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi
Pendidikan.
Dalam penulisan makalah
ini juga karena adanya dukungan dari berbagai pihak yang telah memberikan
kelancaran dan motivasi serta batuanya kepada kami. Oleh karena itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Semoga Allah SWT, memberikan pahala yang sesuai dengan amal
dan keikhlasannya dalam membantu penulis selama proses pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis
sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan para pembaca serta masyarakat pada umumnya.
Tegal,
7 Desember 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki
kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap
warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam
kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun
sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman,
sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada
perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki oleh siswa. Lembaga pendidikan yang ada sekarang ini telah
menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman
dalam masyarakat.
Selama itu anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan disediakan
fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis keterbatasannya
yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem
pendidikan SLB telah membangun tembok pemisah bagi anak-anak yang berkebutuhan
khusus. Tembok pemisah tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat
proses saling mengenal antara anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan
anak-anak yang normal. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok
orang yang cacat menjadi komunitas yang terkucilkan dari dinamika sosial di
masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok tersebut.
Sementara kelompok orang berkebutuhan khusus sendiri merasa keberadaannya bukan
menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Di negara
berkembang, orang-orang cacat cenderung tiga kali lebih buruk dalam penolakan
layanan kesehatan dibanding mereka yang tinggal di negara maju. Anak-anak cacat
cenderung tidak menempuh pendidikan dibanding anak-anak lain. Sementara di
sektor lapangan pekerjaan, prosentasi karyawan cacat hanya 44 persen, dibanding
75 persen di negara maju.
Halangan yang
dihadapi kaum cacat merentang mulai dari stigma, diskriminasi, tak ada
perawatan kesehatan layak dan layanan rehabilitasi, sulit mengakses
transportasi, bangunan dan informasi publik. Dalam negara berkembang gambaran
itu bahkan lebih buruk lagi.
Salah satu
penulis laporan "World Report on Disability", Tom Shakespeare,
berkata, "Pesan dari laporan itu adalah bahwa tidak ada negara yang
betul-betul memperlakukan kaum cacat dengan benar. Italia adala pemimpin dalam
hal pendidikan egaliter dan inklusif sekaligus dan tak mengucilkan orang-orang
dengan masalah kesehatan mental, namun di area lain tidak.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan cacat mental?
2.
Apa sajakah kategori anak yang dapat di katakan
mengalami cacat mental?
3.
Bagaimana
pemberian layanan pada anak cacat mental di Indonesia?
4.
Bagaimana perbandingan antara pemberian layanan
anak cacat mental di Indonesia dengan pemberian layanan anak cacat mental di
luar negeri?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian dari cacat mental
2. Mengetahui indikasi
anak yang mengalami cacat mental
3. Mengetahui pemberian layanan pada anak cacat mental di
Indonesia
4. Mengetahui
perbandingan antara pemberian layanan anak cacat mental di Indonesia dengan
pemberian layanan anak cacat mental di luar negeri
D. Manfaat
Penulisan
Manfaat yang
dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah Mahasiswa dapat mengetahui apa
itu cacat mental dengan karakteristiknya serta klasifikasi dari cacat mental
tersebut. Selain itu mahasiswa dapat mengetahui perbedaan layanan yang
diberikan bagi anak cacat mental antara negara Indonesia dengan Luar Negeri
sehingga diharapkan mahasiswa sebagai calon pendidik lebih menghargai
keberadaan anak berkebutuhan khusus yang ada di sekitar kita serta dapat
belajar dari pemerintah luar negri yang lebih baik dalam memfasilitasi anak
berkebutuhan khusus di negaranya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Cacat
Mental
Cacat mental adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Anak-anak yang
menderita cacat mental mengalami keterlambatan permanen dan menyeluruh di dalam
banyak aspek perkembangan mereka sebab intelegensi mereka rusak. Seberapa
tinggi intelegensi mereka biasanya dinyatakan di dalam bentuk Intelligence
Quotient (IQ). IQ normal berkisar antara 80 sampai 120. Anak-anak cacat mental
memiliki IQ dibawah 70. Sekitar 2.5 persen anak-anak mengalami semacam cacat
mental. Mereka yang IQ-nya antara 50 dan 70 dikatakan menderita cacat mental
ringan, sedangkan yang di bawah 50 dikatakan menderita cacat mental parah.
Adakalanya kemampuan menggerakkan badan dan anggota badannya normal, tetapi
koordinasi, kemampuan berbahasa dan sosialnya terhambat. Inteligensi diukur
dengan memberikan tes-tes yang menghasilkan IQ.
Di samping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Mereka kurang cakap dalam memikirkan
hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit, dan yang berbelit-belit. Mereka kurang
atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan
atau dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal
tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti mengarang,
menyimpulkan isi bacaaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua
pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang/terhambat dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan.
Anak cacat mental banyak macamnya, ada yang disertai dengan
buta warna, disertai dengan kerdil badan, disertai dengan berkepala panjang,
disertai dengan bau badan tertentu dan sebagainya; tetapi ada pula yang tidak
disertai apa-apa. Mereka semua mempunyai persamaan yaitu kurang cerdas dan
terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan jika dibandingkan dengan
teman sebayanya. Mereka mempunyai ciri-ciri khas dan tingkat cacat mental yang
berbeda-beda, ada yang ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Terdapat
perbedaan antara cacat mental dengan sakit mental, sakit jiwa, atau sakit
ingatan.
Dalam bahasa Inggris sakit mental disebut mental illness
yaitu merupakan kegagalan dalam membina kepribadian dan tingkah laku. Sedangkan
cacat mental dalam bahasa Inggris disebut mentally retarded atau mental
retardation merupakan ketidakmampuan memecahkan persoalan disebabkan karena
kecerdasan (inteligensinya) kurang berkembang serta kemampuan adaptasi
perilakunya terhambat. Hal ini yang membedakan cacat mental dengan sakit jiwa
ialah: Cacat mental bermula dan berkembang pada masa perkembangan, yaitu sejak
anak lahir sampai kira-kira usia 18 tahun. Sedangkan sakit jiwa dapat menyerang
setiap saat, kapan saja. Namun sekalipun sakit jiwa dan cacat mental berbeda,
tidak mustahil anak cacat mental menderita sakit jiwa.
Dari berbagai definisi, ungkapan pengertian dan penjelasan
yang telah diuraikan di atas maka jelaslah bahwa untuk menentukan seseorang
termasuk kategori cacat mental, selain kemampuan kecerdasannya atau tingkat
inteligensinya jelas-jelas berada di bawah normal perlu pula diperhatikan
kemampuaan penyesuaiannya (adaptasi tingkah laku) terhadap lingkungan sosial
dimana ia berada. Selanjutnya perlu diperhatikan tentang waktu terjadinya cacat
mental itu. Bila cacat mental terjadi setelah masa perkembangan (setelah usia
18 tahun) maka ia tidak tergolong cacat mental.
Ø
Penyebab Anak Cacat Mental
1.
Peristiwa kelahiran
Di negara sedang berkembang, penyebab cacat mental yang utama
adalah kerusakan pada otak saat kelahiran. Kehamilan yang tidak di control,
bimbingan persalinan yang tidak tepat, bantuan persalinan salah, fasilitas
persalinan yang kurang memadai banyak mengakibatkan kerusakan pada otak anak.
2.
Infeksi
Anak menderita infeksi yang merusak otak seperti meningitis,
encephalitistu berkulosis, dan lain-lain. Sekitar 30%-50% dari mereka yang
mengalami kerusakan otak akibat penyakit-penyakit tersebut menderita deficit
neorologikdan cacat mental
3.
Malnutrisi berat
Kekurangan makanan bergizi semasa bayi dapat mengganggu partumbuhan
dan fungsi susunan syaraf pusat. Malnutrisi ini kebanyakan terjadi pada
kelompok ekonomi lemah.
4. Kekurangan yodium
Kekurangan yodium dapat mempengaruhi perkembangan mental
anak, termasuk salah satu penyebab cacat mental. Untuk mengenal anak cacat
mental secara dini, beberapa gejala ini dapat dijadikan indicator.
5. Terlambat memberi reaksi
Gejala-gejala ini dapat diamati pada saat minggu-minggu
pertama kehidupan anak. Antara lain; lambat memberi senyum jika anak diajak
tertawa atau digelitik. Anak tidak memperhatikan atau seolah-olah tidak melihat
jika dirangsang dengan gerakan tangan kita. Bagi anak yang sehat, bola matanya
akan mengikuti gerakan tangan kita. Bagi anak yang sehat, bola matanya akan
mengikuti gerakan tangan tersebut kekiri atau kekanan. Begitu juga terhadap
bunyi-bunyian, anak yang sehat akan tersentak, terkejut, membesarkan bola mata,
dan berusaha mencari suara tersebut. Sebaliknya anak cacat mental akan
terlambat bereaksi terhadap bunyi-bunyian, seolah-olah tergantung pendengarannya.
Anak cacat mental juga lambat mengunyah makanan, sehingga ia seringkali
mengalami gangguan.
6. Memandang tangannya sediri
Bayi yang berusia antara 12-20 minggu bila berbaring sering
memperhatikan gerakan tangannya sendiri. Pada anak cacat mental gejala ini
masih terlihat walaupun usianya sudah lebih tua dari 20 minggu.
7. Memasukkan benda ke mulut
Kegiatan memasukkan benda ke dalam mulut merupakan aktifitas
yang khas untuk anak usia 6- 12 bulan. Anak cacat mental masih suka memasukkan
benda atau mainan ke dalam mulutnya walaupun usianya sudah mencapai 2 atau 3
tahun.
8. Kurang perhatian dan kurang konsentrasi
Anak cacat mental kurang memperhatikan lingkungan sekitar.
Perhatiannya terhadap mainan hanya berlangsung singkat saja. Malahan seringkali
tidak mengacuhkan kejadian-kejadian di sekelilingnya. Bila diberi mainan, ia
kurang tertarik dan tidak berusaha untuk mengambilnya.
B. Indikasi Anak
Cacat Mental
Ø
Klasifikasi Anak Cacat Mental
Pengelompokan pada umumnya berdasarkan pada taraf intelegensinya,
yang terdiri dari terbelakang ringan, dan berat. Pengelompokan seperti ini
sebenarnya bersifat artificial karena ketiga kelompok di atas tidak dibatasi
oleh garis demargasi yang tajam. Gradasi dari satu level ke level berikutnya
bersifat kontinyu.
Kemampuan inteligensi anak cacat mental kebanyakan diukur
dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC).
1. Cacat Mental
Ringan
Cacat mental ringan disebut juga debil. Kelompok ini memiliki
IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki
IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
Namun pada umumnya anak cacat mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian
social secara independen dan anak ini tidak mengalami gangguan fisik. Mereka
secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak
sukar membedakan secara fisik antara anak cacat mental dengan anak normal.
2.
Cacat Mental Sedang
Anak cacat mental sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini
memiliki IQ 51-36 berdasarkan skala Binet sedangkan menurut Skala Wsechler
memiliki IQ 54- 40. Anak cacat mental sedang masih memperoleh kecakapan
komunikasi selama masa anak usia dini. Walaupun agak lambat. Anak dapat
mengurus atau merawat diri sendiri dengan pelatihan yang intensif. Mereka dapat
memperoleh manfaat latihan kecakapan social dan pekerjaan namun tidak dapat
menguasai kemampuan akademik seperti; membaca, menulis, dan berhitung. Akan
tetapi mereka masih dapat bepergian di lingkungan yang sudah dikenalnya.
3. Cacat Mental
Berat
Kelompok anak cacat mental berat disebut juga idiot. Kelompok
ini dapat dibedakan lagi antara anak cacat mental berat dan sangat berat. Cacat
mental berat (severe) memiliki IQ antara 32-20menurut skala Binet dan antara
39-25 menurut Skala Wechsler (WISC) Anak cacat mental sangat berat (profound)
memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut skala
Wechsler (WISC). Anak cacat mental berat memerlukan bantuan perawatan secara
total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dll. Hampir semua anak cacat mental
berat dan sangat berat menyandang cacat ganda. Umpamanya sebagai tambahan cacat
mental tersebut si anak lumpuh (karena cacat otak) , tuli atau cacat lainnya.
Ø Karakteristik
Anak Cacat Mental
1.
Karakteristik
Anak Cacat Mental Ringan
Anak cacat mental ringan banyak yang lancar berbicara tetapi
kurang pembendaharaan kata-katanya. Mereka mengalami kesukaran berfikir
abstrak, tetapi mereka masih dapat mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah
biasa maupun di sekolah khusus. Sebagaimana tertulis dalam The New American
Webster (1956:301) bahwa: “Moron (debile) is a person whose mentality does not
develop beyond the 12 year old level”. Maksudnya, kecerdasan berfikir seseorang
cacat mental ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12
tahun.
2.
Karakteristik Anak Cacat Mental Sedang
Anak cacat mental sedang hamper tidak bias mempelajari
pelajaran-pelajaran akademik. Mereka pada umumnya belajar secara membeo.
Perkembangan bahasanya lebih terbatas daripada anak cacat mental ringan. Mereka
hamper selalu bergantung pada perlindungan orang lain, tetapi dapat membedakan
bahaya dan yang bukan bahaya. Mereka masih mempunyai potensi untuk belajar
memelihara diri dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan dapat mempelajari
beberapa pekerjaan yang mempunyai arti ekonomi. Pada umur dewasa mereka baru
mencapai kecerdasan yang sama dengan anak umur 7 atau 8 tahun.
3. Karakteristik
Anak Cacat Mental Berat
Anak cacat
mental berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan slalu tergantung pada
pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri.
Pada umumnya mereka tidak dapat membedakan mana yang berbahaya dan yang tidak
berbahaya, tidak mungkin berpartisifasi dengan lingkungan di sekitarnya, dan
jika sedang berbicara maka kat-kata ucapannya sangat sederhana. Kecerdasan
seorang anak cacat mental berat dan sangat berat hanya dapat berkembang paling
tinggi seperti anak normal yang berumur 3 atau 4 tahun.
Sunaryo Kartadinata (1998/1999)
mengatakan karakteristik anak cacat mental antara lain (1) Keterbatasan
inteligensi, (2) Keterbatasan social dengan ciri-ciri ; cenderung berteman
dengan anak yang lebih muda, ketergantungan terhadap orang tua, tidak mampu
memikul tanggung jawab. (3) Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya seperti;
kurang mampu mempertimbangkan sesuatu, kurang mampu membedakan yang baik dengan
yang buruk, yang benar dan yang salah, tidak membayangkan terlebih dahulu konsekuensi
suatu perbuatan.
Guru TK mengenali anak
keterbelakangan mental melalui berbagai aktifitas selama kegiatan, bermain,
bercerita, makan, di kelas maupun di halaman sekolah atau bagaimana cara ia
berinteraksi dengan anak lain, guru, atau orang di sekitarnya. Begitu juga
interaksinya dengan lingkungan alam, alat permainannya, dan rangsangan lain
yang ada di sekitarnya.
2. Pemberian
Layanan Bagi Anak Cacat Mental di Indonesia
Beberapa sekolah telah dibuka bagi
anak-anak dengan kebutuhan khusus di Indonesia. System pembelajaran yang
disesuaikan dengan keadaan siswa menjadi salah satu keunggulan yang ditawarkan sekolah
– sekolah tersebut. Sekolah ini membekali anak untuk bisa hidup mandiri dalam
hidupnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Ø
Pasal – Pasal Yang Melandasi Pendidikan Luar
Biasa di Indonesia
Seluruh warga negara tanpa
terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dijamin oeh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang
mengumumkan. Bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Pada tahun 2003 pemerintah
mengeluarkan undang- undang no 20 tentang system pendidikan nasional ( UUSPN ).
Dalam undang – undang tersebut dikemukakan hal- hal yang erat hubungan dengan
pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus sebagai berikut ;
Bab 1 ( pasal 1 ayat 18 ) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal
yang harus di ikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah
dan pemerintah daerah
Bab II ( pasal 4 ayat 1 ) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis
berdasarkan HAM,agama,kultural, dan kemajemukan bangsa.
Bab IV ( pasal 5 ayat 1 ) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,emosionl,mental,intelektual
atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (pasal 32 ayat 1 ) Pendidikan khusus bagi
peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik,emosional,mental,sosial atau memiliki potensi kecerdasan.
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan
swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut
Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti
sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah
pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil
sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB
atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak
terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat
diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan
masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial,
karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.
Ø
Gagagasan Pendidikan Inklusi di
Indonesia
Sekolah inklusi adalah sekolah
reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa
penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan
pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak
hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan
tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia
dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena
pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat
yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian
penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai,
dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.
Inklusi terjadi pada semua lingkungan
sosial anak, pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada
institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan
pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara
hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe
pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak.
Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah
anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan
setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa
mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya.
Ø
Implementasi
Di Lapangan
Indonesia Menuju Pendidikan
inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung,
dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan
bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak
memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan
(Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh
kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang
cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4
tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi
(Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan sekolah Inklusi (SD. Muhamadiyah di
Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120 anak, 2 anak laki-laki diantaranya
cacat mental, dua anak ini dimasukan oleh kedua ibunya ke kelas I karena mau
masuk SLB lokasinya jauh dari tempat tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga
ini tergolong keluarga miskin oleh sebab itu mereka memasukkan anak-anaknya ke
SD Muhamadiyah. Perasaan mereka sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya
anak mereka diterima sekolah. Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang
satu lagi tampak ceria dan gembira, bahkan ia menyukai tari dan suka musik,
juga ia ramah dan bermain dengan teman sekolahnya yang tidak cacat.
Gurunya menyukai mereka, mengajar dan
mendidik mereka dengan mengunakan modifikasi kurikulum untuk matematika dan
mata pelajaran lainnya, evaluasi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang
sangat penting disini yang berkaitan dengan guru adalah anak cacat mental
tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia dan senang di sekolah.
Ini merupakan potret anak cacat mental di tengah-tengah teman yang sedang
belajar.
Ø
Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pendidikan inklusi
menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang dimodofikasi
(diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus,
dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi/pengembangan kurikulum
pendidikan inklusi dapat dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri
atas guru-guru yang mengajar di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai
pihak yang terkait, terutama guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar
Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, dan ahli
Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar
Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas Pendidikan. Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1.
Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan
belajar siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam
kurikulum reguler (Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya
selama 6 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal (anak berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi relatif normal dapat dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal
(anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk
anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2. Modifikasi
isi/materi
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal,
materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan
diperdalam) dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum
sekolah reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal
materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat
kesulitannya diturunkan sedikit.
* Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal
(anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat
dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan
dihilangkan bagian tertentu.
3. Modifikasi proses belajar-mengajar
* Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi,
yang meliputi analisis, sintesis, evaluasi, dan problem solving, untuk anak
berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal;
* Menggunakan pendekatan student centerred, yang
menenkankan perbedaan individual setiap anak.
* Lebih terbuka (divergent);
* Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena
kemampuan siswa di dalam kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling
bergerak kesana-kemari, dari satu kelompok ke kelompok lain.
* Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif
seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui pendekatan
pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi mungkin
dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan berusaha
seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik,“aku-lah sang juara”!.
Namun, dengan
pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya, yakni mungkin
“ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi egois.
Untuk
menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu
diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa
kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara
bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah kerjasama
dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai. Dengan cara ini
sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong akan
berkembang dengan baik. Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa
kerjasama anak akan berkembang harmonis.
Disesuaikan
dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang bertipe
auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis).
Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera penglihatan. Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui indera
pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga
hanya akan menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
Ø Sekolah Swasta
Sekolah swasta yang menangani anak berkebutuhan
khusus salah satunya adalah Yayasan Sjaki-Tari-Us yang
bertujuan menolong dan membimbing anak-anak cacat mental sehingga mereka dapat
berkembang dan berperan serta dalam masyarakat, dengan moto: Bukan tidak
berbakat, tapi berbakat istimewa!
Mereka melakukan hal ini dengan mengirim bantuan dan
tenaga ahli dari Belanda untuk orang tua, pembimbing, guru-guru dan pihak lain
yang berminat di Bali. Dengan demikian mereka akan dapat menerapkan dan
mengalihkan ilmu mereka pada saatnya di Bali. Dan kualitas pendidikan dan
bimbingan untuk anak-anak cacat mental dapat lebih berkembang.
Yayasan Sjaki-Tari-Us menangani beberapa proyek antara lain:
- Kelompok bermain dan belajar
untuk anak-anak (cacat mental) dan orang tua murid di Ubud
- Kelompok bermain dan belajar
untuk anak-anak (cacat mental) dan orang tua murid yang bersatu dengan
sekolah dasar di Selat, Bali Utara
- Program “Teach the
Teacher”untuk guru-guru di Sekolah Luar Biasa (SLB)
- Layanan antar jemput untuk
anak-anak yang melanjutkan sekolah mereka ke Sekolah Luar Biasa, namun
tidak memiliki fasilitas transportasi, di Singaraja, Selat dan Ubud.
- Pencanangan Pusat aktivitas
harian untuk remaja (cacat mental) di Ubud.
4.
Pemberian Layanan Bagi Anak Cacat Mental Di
Luar Negeri
Di negara berkembang, orang-orang cacat cenderung tiga kali
lebih buruk dalam penolakan layanan kesehatan dibanding mereka yang tinggal di
negara maju. Anak-anak cacat cenderung tidak menempuh pendidikan dibanding
anak-anak lain. Sementara di sektor lapangan pekerjaan, prosentasi karyawan
cacat hanya 44 persen, dibanding 75 persen di negara maju.
Halangan yang dihadapi kaum cacat merentang mulai dari
stigma, diskriminasi, tak ada perawatan kesehatan layak dan layanan
rehabilitasi, sulit mengakses transportasi, bangunan dan informasi publik.
Dalam negara berkembang gambaran itu bahkan lebih buruk lagi.
Salah satu penulis laporan "World Report on
Disability", Tom Shakespeare, berkata, "Pesan dari laporan itu adalah
bahwa tidak ada negara yang betul-betul memperlakukan kaum cacat dengan benar.
Italia adala pemimpin dalam hal pendidikan egaliter dan inklusif sekaligus dan
tak mengucilkan orang-orang dengan masalah kesehatan mental, namun di area lain
tidak.
Namun laporan WHO, meski tidak membandingkan langsung dengan
negara-negara lain, menyoroti satu praktek terbaik yang layak dijadikan contoh,
yakni UU Diskriminasi Kaum Cacat 2005. UU itu mewajibkan lembaga-lembaga publik
untuk mempromosikan kesetaraan dan kebijakan penggajian langsung untuk
orang-orang cacat.
Ø
Layanan Bagi Anak Cacat Mental Di Negara Korea
Sampai tahun
2007, terdapat 144 kelas khusus untuk orang dengan cacat fisik dan
mental di Korea. Angka ini mencakup tujuh sekolah
untuk siswa-siswa dengan
gangguan emosi, 12 sekolah untuk siswa dengan
gangguan penglihatan, 18 sekolah
untuk siswa dengan gangguan pendengaran, 18
sekolah untuk siswa dengan cacat fisik,
dan 89 sekolah untuk siswa yang mengalami
keterbelakangan mental.
Dengan
kesadaran yang semakin meningkat mengenai kebutuhan orang-orang
dengan cacat fisik dan mental, semakin banyak upaya dilakukan untuk
memasukkan mereka ke sekolah-sekolah umum. Semakin banyak sekolah
umum yang mempekerjakan staf pendukung dengan latar belakang pendidikan
khusus serta membangun fasilitas-fasilitas bagi siswa-siswa dengan cacat
fisik dan mental. Untuk menolong para pelajar yang memiliki permasalahan
kronis, pemerintah juga sedang mempromosikan dibangunnya rumah sakit sekolah.
Untuk meningkatkan
kualitas sistem pendidikan khusus, pemerintah mendirikan
Institut Pendidikan Khusus Korea pada tahun
1994, yang bertanggungjawab untuk
mengadakan penelitian dalam bidang pendidikan
khusus serta meningkatkan kesadaran
masyarakat akan kebutuhan orang-orang yang
memiliki cacat fisik dan mental. Serta Orang-orang dengan cacat fisik dan
mental di Korea memperoleh pelatihan kejuruan.
Ø
Cacat Mental di Negara Belanda
Han Brunner, ahli genetik klinis, mengadakan penelitian bersama
Joris Veltman mengenai penyebab cacat mental pada anak-anak yang terlihat
'normal' ini.
Brunner mengaku sekarang punya alat yang bisa membaca semua gen dalam tubuh
sekaligus. Dengan demikian ia bisa membandingkan gen kedua orangtua dengan
anak. Ia juga telah melakukan penelitian ini kepada sepuluh anak dan orangtua
mereka. ''Pada enam anak, kami menemukan kelainan pada sebuah gen, kelainan
yang tidak ditemukan pada kedua orangtua. Dan kelainan pada satu gen
tersebutlah yang mungkin jadi penyebab cacat mental.
Brunner dan Veltman menggunakan teknik baru: Next Generation
Sequencing. Teknik ini memungkinkan semua 20.000 gen – genoom – pada tubuh
seseorang diamati, dan dalam hal ini juga dibandingkan dengan gen orangtua.
Menurut peneliti, kelainan pada sebuah gen terjadi secara spontan.
“Perubahan DNA adalah hal lumrah: jika dibandingkan DNA kita akan
sedikit berbeda dari DNA orangtua. Sekarang kita bisa memberi tahu orang tua
anak-anak cacat mental bahwa kelainan gen mungkin timbul pada pembuatan sel
sperma atau sel telur. Pada kehamilan kedua risiko kelainan akan jauh
berkurang,” Demikian dinyatakan Joris Veltman. Jumlah anak-anak yang dilahirkan
cacat mental di Belanda kurang lebih 2 banding 100.
Penelitian di Nijmegen ini bisa membuat orangtua mengerti lebih
banyak mengenai anak-anak cacat mental. Seringkali orang tua lega jika
mengetahui penyebab kecacatan anak mereka. Kejelasan apakah cacat mental
merupakan penyakit turunan juga penting bagi orangtua yang masih ingin memiliki
anak lagi.
“Penelitian ini sama sekali tidak mengubah Sven,” kata ayah Sven,
yang jadi salah satu kelinci percobaan penelitian ini. Istrinya menambahkan,
“Namun saya tenang karena telah mengetahui apa yang sebenarnya kami hadapi.
Sekarang, kami bisa mendefinisikannya.”
Saat ini penelitian Next Generation Sequencing masih terlalu mahal
untuk digunakan secara umum. Peneliti berharap, harga alat penelitian ini
lambat laun menurun, namun bukan berarti dalam beberapa tahun ke depan
penelitian ini akan bisa dilakukan di seluruh dunia. Lagipula alat saja tak
akan cukup. Yang juga dibutuhkan adalah tenaga ahli yang bisa memproses data
penelitian
Ø
Cacat Mental di Negara Amerika Serikat
Di
Amerika penyandang cacat fisik dan mental statusnya di mata hukum sama dengan
mereka yang tidak cacat. Kekurangan yang ada pada mereka tidak dijadikan alasan
untuk menempatkan mereka sebagai warga negara kelas dua. Selama mereka mampu
dan memenuhi syarat, di bidang pekerjaan mereka mempunyai hak yang sama dengan
mereka yang tidak cacat. Dalam bidang sekolah juga demikian.
Di kehidupan sehari-hari, penyandang cacat bukan hanya diakui kesetaraan
mereka tetapi juga diberikan fasilitas yang membuat mereka dapat menjalankan
aktivitas keseharian sama seperti mereka yang tidak cacat. Mereka diberi
kemudahan akses. Di tempat parkir, tersedia tempat parkir khusus untuk
penyandang cacat dan warga negara senior (yang dianggap mempunyai keterbatasan
dalam bergerak). Tempat parkir khusus ini bagian dari tempat parkir secara
keseluruhan tetapi lokasinya paling dekat dengan pintu masuk. Untuk bisa parkir
di spot khusus ini setiap mobil yang parkir harus menunjukkan kartu disabled
yang digantung di atas dashboard mobil. Bisa juga dengan memakai pelat
kendaraan bergambar kursi roda, logo penyandang cacat.
Di bus kota kursi khusus bagi penyandang cacat terletak paling dekat ke
pintu bus untuk memudahkan mereka. Di gedung-gedung dan fasilitas umum lainnya
disediakan ramp atau koridor khusus untuk dilalui oleh kursi roda, bagi mereka
yang tidak dapat menggunakan tangga. Sedangkan pintu-pintu di semua gedung
milik pemerintah dan sebagian besar gedung milik swasta memakai pintu otomatis.
Baik yang bisa membuka dan menutup sendiri (biasanya pintu geser) atau pintu
yang bisa dibuka dengan menekan tombol khusus. Begitulah cara orang Amerika
mencintai sesama mereka yang tidak beruntung. Hal yang perlu ditiru di
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Cacat mental adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Anak-anak yang
menderita cacat mental mengalami keterlambatan permanen dan menyeluruh di dalam
banyak aspek perkembangan mereka sebab intelegensi mereka rusak. Keberadaan anak cacat mental di Indonesia sangat
dilindungi termasuk dalam memperoleh pendidikan, karena pendidikan merupakan kebutuhan
dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih
bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan
pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka
yang memiliki perbedaan dalam kemampuan seperti yang tertuang pada UUD 1945
pasal 31 (1).
Namun sayangnya
sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan
munculnya lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan
bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Di negara berkembang, orang-orang cacat cenderung tiga kali
lebih buruk dalam penolakan layanan kesehatan dibanding mereka yang tinggal di
negara maju. Anak-anak cacat cenderung tidak menempuh pendidikan dibanding
anak-anak lain. Sementara di sektor lapangan pekerjaan, prosentasi karyawan
cacat hanya 44 persen, dibanding 75 persen di negara maju.
B.
Saran
1.
Bagi Mahasiswa
Sebagai kaum intelektual sebaiknya mahasiswa mampu tanggap
dengan kejadian ini, dimana meskipun
anak cacat mental di Indonesia mendapatkan kedudukan yang sama di mata
Undang-Undang dalam hal pendidikan tetapi sistem
pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi secara baik keberagaman tersebut.
2.
Bagi
Masyarakat
Beberapa
sekolah telah dibuka bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus ini. System
pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan siswa menjadi salah satu
keunggulan yang ditawarkan sekolah – sekolah ini. Jadi anda tidak perlu
khawatir dengan masa depan anak anda karena sekolah ini membekali anak untuk
bisa hidup mandiri dalam hidupnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
DAFTAR PUSTAKA
Somantri H. T. Sutjihati, 1996. Psikologi Anak
Luar Biasa. : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Geoniofam, Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus,Garailmu, Jogjakarta2010
http://getmyhope.wordpress.com/2010/04/23/anak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia/
http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/pendidikan-anak-luar-biasa/http://my.opera.com/gusdar99/blog/show.dml/4479602